ketika mulutnya suka menuturkan dusta, fitnah dan makian semata,
dan telinganya selalu dahagakan mungkar dan lagha,
ketika matanya hanya menginginkan keasyikan dan kehendak nafsu,
dan seluruh anggota zahirnya memilih untuk tidak tunduk
sementara hati tidak menyanggah,
malah mengangguk setuju.
Inilah syair seorang pendosa
mengharap sinar pada musim kelabu
mencari setitis air di tanah gersang
mengangankan berteman bintang di langit
sedang debu di bumi pun tidak ingin menyelimuti.
Ini sesungguhnya sendu seorang pendosa
berkali-kali menghirup murka
berulang kali juga menagih redha,
berkali-kali tertawa di pagi hari
berulang kali juga merintih di dini hari.
Masih adakah ruang untuk sempitnya nafas seorang pendosa
masih mampukah mengheret langkah di hujung tebing,
Masih adakah keampunan di akhir penderhakaan...